Faktor Kali Pelanggan PLN Untuk Daya 53 kVa - 197 kVA (CT Terpasang)
1. Daya 53 kVa 3 X 100/5
2. Daya 66 kVa 3 X 100/5
3. Daya 82.5 kVa 3 X 150/5
4. Daya 105 kVa 3 X 200/5
5. Daya 131 kVa 3 X 200/5
6. Daya 147 kVa 3 X 250/5
7. Daya 164 kVa 3 X 250/5
8. Daya 197 kVa 3 X 300/5
Rabu, 09 Juli 2014
Senin, 07 Juli 2014
Vila di Bali Bisa Jual Listrik ke PLN
TEMPO.CO, Denpasar -
Sejumlah vila di Bali menawarkan listrik dari pembangkit listrik tenaga
surya (PLTS) ke PT PLN Distribusi Bali. Pembelian listrik oleh PLN ini
akan memacu penggunaan energi alternatif di kalangan industri
perhotelan.
"Dengan harga listrik yang makin mahal, makin banyak vila dan hotel yang tertarik solar energy. Kalau bisa menjual, bisa makin menarik," kata Nugraha Widyatmono dari PT Contained Energy, konsultan energi alternatif yang mengkoordinasikan penawaran ke PT PLN, Senin, 7 Juli 2014.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Listrik oleh PLN, pabrik setrum negara ini dimungkinkan membeli listrik dari pembangkit kecil milik swasta. Pihak vila biasanya memiliki kelebihan pasokan pada saat low-season.
Adapun kapasitas terpasang PLTS di vila maksimal 14 kilowatt dengan harga listrik Rp 600-700 per kWh. "Jadi masih lebih murah dibandingkan harga listrik dari PLN," katanya. (Baca juga: Meneliti Kulit Kacang, Nisrina Ciptakan 3 Produk) Namun, mengingat kapasitas yang kecil ini, kemungkinan besar vila-vila ini nantinya hanya memproduksi listrik sebagai tambahan bagi konsumsi mereka sendiri.
Masalah instalasi, kata Nugraha, bisa diatasi dengan pemasangan bimeter direction yang memungkinkan penghitungan daya yang masuk ke instalasi Vila dan daya yang keluar dialirkan ke jaringan PLN. Saat ini pihaknya sudah menangani 10 vIla milik pribadi dan komersial. Selisih dari daya masuk dan keluar itulah nantinya yang akan dihitung, apakah surplus atau defisit, sehingga bisa ditentukan seberapa besar biaya yang perlu dibayar PLN. Atau sebaliknya, berapa sisa beban yang bisa dihemat oleh pemilik vila.
Biaya untuk PLTS sendiri tergantung pada daya yang dihasilkan pada saat beban puncak atau watt peak. Dengan perkiraan kapasitas hingga 10 kilowatt, diperlukan investasi sekitar Rp 300 juta untuk masa operasional 25 tahun. Pihaknya memperkirakan return of invesment (ROI) penggunaan teknologi ini diraih setelah lima-enam tahun. (Baca juga: Tarif Naik, PLN: Percuma Timbun Token Listrik)
Humas PT PLN Bali, Wayan Redika, memastikan PLN akan membeli listrik yang dihasilkan dari energi alternatif ini. "Tinggal dinegoisasikan soal harga dan disiapkan MOU-nya," katanya.
Saat ini PLN Bali juga sudah membeli listrik dari pengolahan sampah (PLT Bio Massa) yang setiap bulan rata-rata menghasilkan listrik 271.789 kWh dengan harga Rp 685,9 per kWh, sehingga setiap bulan PLN mengeluarkan dana hingga Rp 186 juta.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2014/07/07/090591035/Vila-di-Bali-Bisa-Jual-Listrik-ke-PLN
"Dengan harga listrik yang makin mahal, makin banyak vila dan hotel yang tertarik solar energy. Kalau bisa menjual, bisa makin menarik," kata Nugraha Widyatmono dari PT Contained Energy, konsultan energi alternatif yang mengkoordinasikan penawaran ke PT PLN, Senin, 7 Juli 2014.
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Listrik oleh PLN, pabrik setrum negara ini dimungkinkan membeli listrik dari pembangkit kecil milik swasta. Pihak vila biasanya memiliki kelebihan pasokan pada saat low-season.
Adapun kapasitas terpasang PLTS di vila maksimal 14 kilowatt dengan harga listrik Rp 600-700 per kWh. "Jadi masih lebih murah dibandingkan harga listrik dari PLN," katanya. (Baca juga: Meneliti Kulit Kacang, Nisrina Ciptakan 3 Produk) Namun, mengingat kapasitas yang kecil ini, kemungkinan besar vila-vila ini nantinya hanya memproduksi listrik sebagai tambahan bagi konsumsi mereka sendiri.
Masalah instalasi, kata Nugraha, bisa diatasi dengan pemasangan bimeter direction yang memungkinkan penghitungan daya yang masuk ke instalasi Vila dan daya yang keluar dialirkan ke jaringan PLN. Saat ini pihaknya sudah menangani 10 vIla milik pribadi dan komersial. Selisih dari daya masuk dan keluar itulah nantinya yang akan dihitung, apakah surplus atau defisit, sehingga bisa ditentukan seberapa besar biaya yang perlu dibayar PLN. Atau sebaliknya, berapa sisa beban yang bisa dihemat oleh pemilik vila.
Biaya untuk PLTS sendiri tergantung pada daya yang dihasilkan pada saat beban puncak atau watt peak. Dengan perkiraan kapasitas hingga 10 kilowatt, diperlukan investasi sekitar Rp 300 juta untuk masa operasional 25 tahun. Pihaknya memperkirakan return of invesment (ROI) penggunaan teknologi ini diraih setelah lima-enam tahun. (Baca juga: Tarif Naik, PLN: Percuma Timbun Token Listrik)
Humas PT PLN Bali, Wayan Redika, memastikan PLN akan membeli listrik yang dihasilkan dari energi alternatif ini. "Tinggal dinegoisasikan soal harga dan disiapkan MOU-nya," katanya.
Saat ini PLN Bali juga sudah membeli listrik dari pengolahan sampah (PLT Bio Massa) yang setiap bulan rata-rata menghasilkan listrik 271.789 kWh dengan harga Rp 685,9 per kWh, sehingga setiap bulan PLN mengeluarkan dana hingga Rp 186 juta.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2014/07/07/090591035/Vila-di-Bali-Bisa-Jual-Listrik-ke-PLN
Minggu, 06 Juli 2014
Tarif Listrik Naik Terus, Pengelola Mal Protes
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Handaka Santosa akan mengirimkan surat keluhan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terkait kenaikan tarif listrik. Pengelola Pusat Belanja keberatan dengan kebijakan pemerintah atas kenaikan tarif tenaga listrik yang terus-menerus terjadi sejak tahun lalu. (berita sebelumnya:Dilaporkan ke KPPU, Jero: Listrik Tetap Harus Naik)
"Pengaruh kenaikan listrik besar ke kami karena biaya listrik mencakup 40-65 persen dari biaya operasional kami," kata Handaka saat dihubungi Tempo, Sabtu, 7 Juni 2014. Dia berharap dengan surat protes tersebut, pemerintah mendengar keluhan pengelola mal dan mengevaluasi kenaikan tarif baru.
Sejak Mei 2014, tarif listrik untuk pelanggan bisnis menengah (B2) naik 13,09 persen dari Rp 1.352 per kilowatt hour menjadi Rp 1.529 per kWh. Tarif untuk pelanggan bisnis besar (B3) naik 3,2 persen dari Rp 1.117 per kWh menjadi Rp 1.153 per kWh. Tarif listrik ini akan berubah setiap bulan mengikuti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, inflasi, dan harga minyak mentah Indonesia. (baca juga:Listrik Naik, Operasional Hotel Melonjak 25 Persen)
Handaka menyebut sebagai pelanggan bisnis kelas B3, untuk mengantisipasi kenaikan tarif listrik ini, pengelola mal terpaksa menaikkan tarif pengelolaan alias service charge kepada para penyewa. Bahkan, biaya sewa tenant untuk yang sudah habis masa kontraknya juga akan langsung dinaikkan. "Kalau besaran kenaikan service charge berkisar 5 -7 persen," kata dia. (Selengkapnya:Pengusaha Pusat Belanja Naikkan Biaya Sewa )
Menurut Handaka, kenaikan tarif listrik secara simultan sangat memberatkan konsumen dan pengusaha. Apalagi pada 2013 tarif listrik untuk golongan bisnis menengah dan besar sudah naik 27,5 persen. "Tahun 2013, kenaikan TDL bertahap selama empat bulan tahun lalu telah mencapai 27,5 persen. Ini sangat luar biasa dan memberatkan. Kalau bulan ini naik lagi sekitar 13 persen, pasti jadi lebih memberatkan," kata dia.
ALI HIDAYAT
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2014/06/07/089583241/Tarif-Listrik-Naik-Terus-Pengelola-Mal-Protes
"Pengaruh kenaikan listrik besar ke kami karena biaya listrik mencakup 40-65 persen dari biaya operasional kami," kata Handaka saat dihubungi Tempo, Sabtu, 7 Juni 2014. Dia berharap dengan surat protes tersebut, pemerintah mendengar keluhan pengelola mal dan mengevaluasi kenaikan tarif baru.
Sejak Mei 2014, tarif listrik untuk pelanggan bisnis menengah (B2) naik 13,09 persen dari Rp 1.352 per kilowatt hour menjadi Rp 1.529 per kWh. Tarif untuk pelanggan bisnis besar (B3) naik 3,2 persen dari Rp 1.117 per kWh menjadi Rp 1.153 per kWh. Tarif listrik ini akan berubah setiap bulan mengikuti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, inflasi, dan harga minyak mentah Indonesia. (baca juga:Listrik Naik, Operasional Hotel Melonjak 25 Persen)
Handaka menyebut sebagai pelanggan bisnis kelas B3, untuk mengantisipasi kenaikan tarif listrik ini, pengelola mal terpaksa menaikkan tarif pengelolaan alias service charge kepada para penyewa. Bahkan, biaya sewa tenant untuk yang sudah habis masa kontraknya juga akan langsung dinaikkan. "Kalau besaran kenaikan service charge berkisar 5 -7 persen," kata dia. (Selengkapnya:Pengusaha Pusat Belanja Naikkan Biaya Sewa )
Menurut Handaka, kenaikan tarif listrik secara simultan sangat memberatkan konsumen dan pengusaha. Apalagi pada 2013 tarif listrik untuk golongan bisnis menengah dan besar sudah naik 27,5 persen. "Tahun 2013, kenaikan TDL bertahap selama empat bulan tahun lalu telah mencapai 27,5 persen. Ini sangat luar biasa dan memberatkan. Kalau bulan ini naik lagi sekitar 13 persen, pasti jadi lebih memberatkan," kata dia.
ALI HIDAYAT
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2014/06/07/089583241/Tarif-Listrik-Naik-Terus-Pengelola-Mal-Protes
Konflik kWh Apartemen
KATADATA – Konflik antara pemilik atau penghuni apartemen dan pihak pengelola yang ditunjuk oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) kembali terjadi. Kasusnya selalu sama, PPPSRS yang seharusnya merupakan perwakilan dari pemilik apartemen, malah kerap dijadikan perpanjangan tangan pengembang. Mereka menentukan iuran yang angkanya berasal dari pengembang, tanpa transparansi. Akhirnya pemilik apartemen atau konsumen merasa dirugikan.
Seperti yang terjadi pada apartemen The Lavande Residences di Tebet, Jakarta Selatan. Senin 16 Juni lalu, pihak pengelola dan PPPSRS Lavande Residences mematikan aliran listrik warga pemilik dan penghuni apartemen tersebut. Alasannya, karena para warga belum membayar tunggakan iuran listrik dan iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) yang diberlakukan pengelola dan PPPSRS. Salah satu unit apartemen yang diputus aliran listriknya adalah milik pemain basket dan aktor film Eiffel I'm In Love, Samuel Rizal.
Menurut keterangan dari salah satu penghuni Pratiwi Soedono, sebelumnya pihak pengelola dan PPPSRS memang telah mengancam akan memutus aliran listrik warga, jika belum membayar tunggakan hingga 14 Juni 2014. Padahal saat itu, warga Penghuni dan Pemilik apartemen The Lavande Residences sedang bersengketa dengan Pengurus P3SRS yang diduga bentukan pengembang PT Agung Podomoro Land Tbk dan pihak pengelola yang juga merupakan anak usaha Agung Podomoro. Sengketa perdata ini masih berlangsung di di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Warga Lavande sengaja mengangguhkan pembayaran listrik dan IPL sejak Juni 2013. Para warga tidak terima dengan keputusan PPPSRS yang menaikkan tarif listrik dan IPL secara sepihak, tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan warganya. PPPSRS menaikkan tarif listrik dari Rp 800 per kilowatt jam (kWh) menjadi Rp 1.430 per kWh. Padahal saat itu, pemerintah hanya menaikan tarif untuk pengguna apartemen sebesar 10 persen, atau hanya mencapai Rp 880 per kWh.
"PPPSRS beralasan selisih kenaikan tarif itu digunakan untuk pembelian solar dan perbaikan genset. Padahal biaya untuk genset itu sudah sudah termasuk dalam iuran maintenance fee (IPL). Saat itu mereka (PPPSRS) tidak bisa menjawab," ujar Pratiwi. Selain kenaikan tarif listrik, PPPSRS juga menaikkan IPL dari Rp 12.000 per meter menjadi Rp 14.000 per meter.
Kisruh pun terjadi, hingga Kementerian Perdagangan turun tangan untuk memediasi konflik tersebut pada Oktober 2013. Hasil dari mediasi tersebut memutuskan bahwa pihak PPPSRS harus mengumumkan kepada warganya, bahwa tarif listrik yang berlaku adalah Rp 1.210 per kWh. Kemudian PPPSRS juga harus melakukan pertemuan dengan warga untuk mendiskusikan tarif listrik dan IPL. Selain itu PPPSRS juga harus menggelar rapat sesuai dengan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS, yaitu setiap enam bulan.
"Sejak mediasi tersebut hingga sekarang, PPPSRS belum melakukan hasil mediasi. Setiap bulan, kami selalu mengirimkan surat kepada PPPSRS agar mereka menjalankan hasil mediasi. Namun, tetap saja tidak digubris."
Sebenarnya, kata Pratiwi, Masalah ini didasari karena tidak adanya transparansi keuangan dan pengelolaan di apartemen tersebut. Sesuai aturan dalam Pasal 57 ayat 3 dan Pasal 67, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1998 tentang Rumah Susun, disebutkan pengembang hanya dibenarkan menjadi Pengurus dan Pengelola sementara, selama paling lambat satu tahun. Setelah itu, harus dibentuk PPRS. Adapun PPPSRS dibentuk dan anggotanya pun merupakan pemilik dan penghuni.
Namun, kebanyakan pengembang biasanya tidak mau melepas potensi pendapatan dari apartemen yang sudah mereka jual. Makanya dengan berbagai upaya, pengembang akan tetap berusaha memegang kendali atas perputaran uang di apartemen yang dibangunnya.
Menurut Pratiwi, PPPSRS di Lavande Residences merupakan bentukan dari pihak pengembang, yakni PT Agung Podomoro Land Tbk. Para warga mendapat undangan untuk mengikuti rapat pembentukan PPPSRS pada hari Rabu, 16 Mei 2012. Rapat tersebut dilaksanakan pada pukul tiga sore dan dilakukan bukan di lokasi apartemen, melainkan di gedung Smesco di jalan Gatot Soebroto.
"Karena hari dan jam kerja, makanya tidak banyak yang datang. Dari sekitar 125 orang yang hadir, hanya sekitar 25 orang yang merupakan penghuni asli apartemen Lavande (jumlah hunian di Lavande adalah 725 unit). Selebihnya itu karyawan Agung Podomoro," ujar Pratiwi, kepada Katada, Rabu (18/6). "Makanya yang terpilih pun adalah orang dari Agung Podomoro (Setiarto Haryono), yang mengaku penghuni Lavande, padahal tidak."
Setelah kepengurusan PPPSRS terpilih, tidak pernah ada rapat lagi yang yang melibatkan warga. Bahkan melakukan rapat dengan warga, PPPSRS menunjuk langsung konsultan pengelola, yang merupakan anak usaha dari Agung Podomoro. PPPSRS, kata Pratiwi, hanya pengumuman yang ditempel di papan pengumuman. Termasuk saat menaikan tarif listrik dan IPL. Makanya warga pemilik dan penghuni Lavande Residences melakukan penahanan pembayaran listrik dan IPL, untuk menuntut adanya transparansi di tempat tinggalnya sendiri.
Menurut Pratiwi, bukan hanya Lavande Residence, yang memanipulasi pembentukan PPPSRS, tapi hampir semua apartemen Agung Podomoro yang lain. Bahkan para penghuni apartemen Mediterania Marina Residences di Ancol, Jakarta Utara, membuat PPPSRS tandingan, karena PPPSRS yang ada juga merupakan bentukan Agung Podomoro. "Ini memang sengaja dibuat oleh developer, karena mereka tidak mau kehilangan uang miliaran rupiah dari memainkan iuran warga apartemen," ujarnya. -
Sumber : http://www.katadata.co.id/berita/2014/06/18/kisruh-apartemen-berlanjut#sthash.D3cqDjxS.dpuf
Seperti yang terjadi pada apartemen The Lavande Residences di Tebet, Jakarta Selatan. Senin 16 Juni lalu, pihak pengelola dan PPPSRS Lavande Residences mematikan aliran listrik warga pemilik dan penghuni apartemen tersebut. Alasannya, karena para warga belum membayar tunggakan iuran listrik dan iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) yang diberlakukan pengelola dan PPPSRS. Salah satu unit apartemen yang diputus aliran listriknya adalah milik pemain basket dan aktor film Eiffel I'm In Love, Samuel Rizal.
Menurut keterangan dari salah satu penghuni Pratiwi Soedono, sebelumnya pihak pengelola dan PPPSRS memang telah mengancam akan memutus aliran listrik warga, jika belum membayar tunggakan hingga 14 Juni 2014. Padahal saat itu, warga Penghuni dan Pemilik apartemen The Lavande Residences sedang bersengketa dengan Pengurus P3SRS yang diduga bentukan pengembang PT Agung Podomoro Land Tbk dan pihak pengelola yang juga merupakan anak usaha Agung Podomoro. Sengketa perdata ini masih berlangsung di di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Warga Lavande sengaja mengangguhkan pembayaran listrik dan IPL sejak Juni 2013. Para warga tidak terima dengan keputusan PPPSRS yang menaikkan tarif listrik dan IPL secara sepihak, tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan warganya. PPPSRS menaikkan tarif listrik dari Rp 800 per kilowatt jam (kWh) menjadi Rp 1.430 per kWh. Padahal saat itu, pemerintah hanya menaikan tarif untuk pengguna apartemen sebesar 10 persen, atau hanya mencapai Rp 880 per kWh.
"PPPSRS beralasan selisih kenaikan tarif itu digunakan untuk pembelian solar dan perbaikan genset. Padahal biaya untuk genset itu sudah sudah termasuk dalam iuran maintenance fee (IPL). Saat itu mereka (PPPSRS) tidak bisa menjawab," ujar Pratiwi. Selain kenaikan tarif listrik, PPPSRS juga menaikkan IPL dari Rp 12.000 per meter menjadi Rp 14.000 per meter.
Kisruh pun terjadi, hingga Kementerian Perdagangan turun tangan untuk memediasi konflik tersebut pada Oktober 2013. Hasil dari mediasi tersebut memutuskan bahwa pihak PPPSRS harus mengumumkan kepada warganya, bahwa tarif listrik yang berlaku adalah Rp 1.210 per kWh. Kemudian PPPSRS juga harus melakukan pertemuan dengan warga untuk mendiskusikan tarif listrik dan IPL. Selain itu PPPSRS juga harus menggelar rapat sesuai dengan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS, yaitu setiap enam bulan.
"Sejak mediasi tersebut hingga sekarang, PPPSRS belum melakukan hasil mediasi. Setiap bulan, kami selalu mengirimkan surat kepada PPPSRS agar mereka menjalankan hasil mediasi. Namun, tetap saja tidak digubris."
Sebenarnya, kata Pratiwi, Masalah ini didasari karena tidak adanya transparansi keuangan dan pengelolaan di apartemen tersebut. Sesuai aturan dalam Pasal 57 ayat 3 dan Pasal 67, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1998 tentang Rumah Susun, disebutkan pengembang hanya dibenarkan menjadi Pengurus dan Pengelola sementara, selama paling lambat satu tahun. Setelah itu, harus dibentuk PPRS. Adapun PPPSRS dibentuk dan anggotanya pun merupakan pemilik dan penghuni.
Namun, kebanyakan pengembang biasanya tidak mau melepas potensi pendapatan dari apartemen yang sudah mereka jual. Makanya dengan berbagai upaya, pengembang akan tetap berusaha memegang kendali atas perputaran uang di apartemen yang dibangunnya.
Menurut Pratiwi, PPPSRS di Lavande Residences merupakan bentukan dari pihak pengembang, yakni PT Agung Podomoro Land Tbk. Para warga mendapat undangan untuk mengikuti rapat pembentukan PPPSRS pada hari Rabu, 16 Mei 2012. Rapat tersebut dilaksanakan pada pukul tiga sore dan dilakukan bukan di lokasi apartemen, melainkan di gedung Smesco di jalan Gatot Soebroto.
"Karena hari dan jam kerja, makanya tidak banyak yang datang. Dari sekitar 125 orang yang hadir, hanya sekitar 25 orang yang merupakan penghuni asli apartemen Lavande (jumlah hunian di Lavande adalah 725 unit). Selebihnya itu karyawan Agung Podomoro," ujar Pratiwi, kepada Katada, Rabu (18/6). "Makanya yang terpilih pun adalah orang dari Agung Podomoro (Setiarto Haryono), yang mengaku penghuni Lavande, padahal tidak."
Setelah kepengurusan PPPSRS terpilih, tidak pernah ada rapat lagi yang yang melibatkan warga. Bahkan melakukan rapat dengan warga, PPPSRS menunjuk langsung konsultan pengelola, yang merupakan anak usaha dari Agung Podomoro. PPPSRS, kata Pratiwi, hanya pengumuman yang ditempel di papan pengumuman. Termasuk saat menaikan tarif listrik dan IPL. Makanya warga pemilik dan penghuni Lavande Residences melakukan penahanan pembayaran listrik dan IPL, untuk menuntut adanya transparansi di tempat tinggalnya sendiri.
Menurut Pratiwi, bukan hanya Lavande Residence, yang memanipulasi pembentukan PPPSRS, tapi hampir semua apartemen Agung Podomoro yang lain. Bahkan para penghuni apartemen Mediterania Marina Residences di Ancol, Jakarta Utara, membuat PPPSRS tandingan, karena PPPSRS yang ada juga merupakan bentukan Agung Podomoro. "Ini memang sengaja dibuat oleh developer, karena mereka tidak mau kehilangan uang miliaran rupiah dari memainkan iuran warga apartemen," ujarnya. -
Sumber : http://www.katadata.co.id/berita/2014/06/18/kisruh-apartemen-berlanjut#sthash.D3cqDjxS.dpuf
Tarif Listrik Terbaru Mulai 1 Juli 2014
(1). Untuk golongan I-3, tarif semula Rp 864 per kWh akan naik menjadi Rp 964 per kWh. Pada 1 September 2014, tarif akan naik lagi menjadi Rp 1.075 per kWh, dan per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.200/kWh.
(2). Untuk golongan R-2 dengan 3.500 VA hingga 5.500 VA, tarif semula Rp 1.145 per kWh akan naik menjadi Rp 1.210 per kWh. Per 1 September 2014 tarif ini akan naik lagi menjadi Rp 1.279/kWh, dan per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.352/kWh.
(3). Untuk golongan R-1 dengan kapasitas 2.200 VA, tarif semula Rp 1.004 per kWh akan naik menjadi Rp 1.109/kWh. Lalu, per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.224/kWh, dan per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.353/kWh.
(4). Untuk golongan R-1 dengan kapasitas 1.300 VA, tarif semula Rp 997 per kWh akan naik menjadi Rp 1.090/kWh. Per 1 September 2014, tarif ini naik lagi menjadi Rp 1.214/kWh, dan kembali naik pada 1 November 2014 menjadi Rp 1.352/kWh.
(5). Untuk golongan P-3, dari Rp 864 per kWh naik menjadi Rp 1.104/kWh. Per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.221/kWh, lalu per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.352/kWh.
(6). Untuk golongan P-2 dengan kapasitas di atas 200 kVA, tarif semula Rp 1.062 per kWh naik menjadi Rp 1.081/kWh. Per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.139 per kWh, lalu per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.200 per kWh.
Khusus periode kenaikan tarif untuk industri golongan I-3 dan I-4 sudah dimulai pada 1 Mei 2014. Golongan I-3 adalah adalah industri dengan kapasitas daya listrik terpasang menengah dan non-perusahaan terbuka. Adapun golongan I-4 adalah pengguna listrik tegangan tinggi.
Periode lanjutan periodisasi kenaikan tarif untuk kedua golongan industri akan sama dengan lima kelompok lain yang baru dimulai pada 1 Juli 2014, yaitu 1 Juli-31 Agustus 2014, 1 September-31 Oktober 2014, dan 1 November 2014.
(2). Untuk golongan R-2 dengan 3.500 VA hingga 5.500 VA, tarif semula Rp 1.145 per kWh akan naik menjadi Rp 1.210 per kWh. Per 1 September 2014 tarif ini akan naik lagi menjadi Rp 1.279/kWh, dan per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.352/kWh.
(3). Untuk golongan R-1 dengan kapasitas 2.200 VA, tarif semula Rp 1.004 per kWh akan naik menjadi Rp 1.109/kWh. Lalu, per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.224/kWh, dan per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.353/kWh.
(4). Untuk golongan R-1 dengan kapasitas 1.300 VA, tarif semula Rp 997 per kWh akan naik menjadi Rp 1.090/kWh. Per 1 September 2014, tarif ini naik lagi menjadi Rp 1.214/kWh, dan kembali naik pada 1 November 2014 menjadi Rp 1.352/kWh.
(5). Untuk golongan P-3, dari Rp 864 per kWh naik menjadi Rp 1.104/kWh. Per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.221/kWh, lalu per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.352/kWh.
(6). Untuk golongan P-2 dengan kapasitas di atas 200 kVA, tarif semula Rp 1.062 per kWh naik menjadi Rp 1.081/kWh. Per 1 September 2014 naik lagi menjadi Rp 1.139 per kWh, lalu per 1 November 2014 kembali naik menjadi Rp 1.200 per kWh.
Khusus periode kenaikan tarif untuk industri golongan I-3 dan I-4 sudah dimulai pada 1 Mei 2014. Golongan I-3 adalah adalah industri dengan kapasitas daya listrik terpasang menengah dan non-perusahaan terbuka. Adapun golongan I-4 adalah pengguna listrik tegangan tinggi.
Periode lanjutan periodisasi kenaikan tarif untuk kedua golongan industri akan sama dengan lima kelompok lain yang baru dimulai pada 1 Juli 2014, yaitu 1 Juli-31 Agustus 2014, 1 September-31 Oktober 2014, dan 1 November 2014.
Kreasi Kuliner Olahan Daging Bebek dengan Bumbu Bercitarasa Sunda
Asal Muasal Kata Seblak :
Nyeblak adalah istilah sunda maksa untuk membuat/kumpul-kumpul makan SEBLAK, dan SEBLAK itu sendiri adalah nama makanan (cemilan) yang berbahan dasar kerupuk. Ada dua variasi SEBLAK, yaitu Seblak Basah dan Seblah Kering.
Bumbu Seblak Basah : Bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit, kencur.
Bahan Dasar : Daging Bebek
Olahan sesuai selera masing - masing
Nyeblak adalah istilah sunda maksa untuk membuat/kumpul-kumpul makan SEBLAK, dan SEBLAK itu sendiri adalah nama makanan (cemilan) yang berbahan dasar kerupuk. Ada dua variasi SEBLAK, yaitu Seblak Basah dan Seblah Kering.
Bumbu Seblak Basah : Bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit, kencur.
Bahan Dasar : Daging Bebek
Olahan sesuai selera masing - masing
Langganan:
Postingan (Atom)